Hari: 4 September 2025

Pertanian Lahan Kering: Strategi Adaptasi di Wilayah Minim Air

Pertanian lahan kering adalah jawaban atas tantangan budidaya di wilayah yang kekurangan air. Mengingat sebagian besar wilayah Indonesia memiliki curah hujan terbatas, adaptasi menjadi kunci untuk menjaga ketahanan pangan. Artikel ini akan mengupas tuntas strategi yang dapat diterapkan petani agar tetap produktif, bahkan saat sumber air minim.

Di sejumlah daerah di Indonesia, seperti Nusa Tenggara Timur dan beberapa bagian Sulawesi, curah hujan hanya datang pada waktu-waktu tertentu. Untuk mengatasi hal ini, para petani tidak bisa lagi bergantung pada sistem irigasi konvensional. Data dari Dinas Pertanian Provinsi Nusa Tenggara Timur mencatat bahwa pada tahun 2024, setidaknya 60% lahan pertanian di wilayah tersebut digolongkan sebagai lahan kering, yang menuntut pendekatan khusus agar hasil panen tetap optimal.

Salah satu strategi paling vital adalah pemilihan jenis komoditas. Tidak semua tanaman cocok untuk kondisi minim air. Contohnya, tanaman serealia seperti sorgum dan jewawut (millet) jauh lebih toleran terhadap kekeringan dibandingkan padi sawah. Begitu juga dengan tanaman polong-polongan seperti kacang hijau dan kacang tanah. Data dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan menyebutkan bahwa sorgum bisa bertahan hidup dengan curah hujan kurang dari 400 mm per tahun, sementara padi sawah memerlukan setidaknya 1.200 mm per tahun.

Selain pemilihan komoditas, teknik budidaya juga memegang peranan penting. Penerapan sistem tumpang sari atau rotasi tanaman adalah langkah cerdas untuk memaksimalkan penggunaan lahan dan menjaga kesuburan tanah. Petani di Desa Wae Liku, Manggarai, NTT, misalnya, sukses menerapkan sistem tumpang sari antara jagung dan kacang-kacangan. Jagung yang memiliki akar dalam membantu menahan air, sementara kacang-kacangan mengikat nitrogen dari udara, yang bermanfaat bagi kesuburan tanah.

Manajemen air yang efisien juga tidak bisa dikesampingkan. Meskipun air terbatas, penggunaan air secara bijaksana dapat meningkatkan produktivitas. Teknik seperti mulsa (penutup tanah) yang terbuat dari jerami atau plastik dapat mengurangi penguapan air dari permukaan tanah hingga 50%. Ada pula metode irigasi tetes yang menyalurkan air langsung ke perakaran tanaman, sehingga tidak ada air yang terbuang sia-sia. Laporan dari sebuah lokakarya pertanian yang diadakan pada 10 Mei 2024 di Kabupaten Dompu, NTB, menunjukkan bahwa petani yang menerapkan irigasi tetes berhasil meningkatkan hasil panen bawang merah sebesar 30% meskipun dengan jumlah air yang lebih sedikit.

Bukan hanya masalah teknis, sosialisasi dan pendampingan bagi petani juga krusial. Aparat penyuluh pertanian yang ditugaskan oleh pemerintah daerah, seperti Bpk. Budi Santoso dari Dinas Pertanian Kabupaten Lombok Utara, sering mengadakan pelatihan pada hari Selasa setiap minggu untuk mengajarkan teknik-teknik pertanian lahan kering. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam membantu petani beradaptasi.

Secara keseluruhan, pertanian lahan kering bukan lagi sekadar alternatif, melainkan keharusan di banyak daerah. Dengan kombinasi pemilihan varietas yang tepat, teknik budidaya inovatif, serta manajemen air yang efisien, petani dapat mengelola keterbatasan air menjadi peluang untuk keberlanjutan. Strategi-strategi ini tidak hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga memperkuat ketahanan pangan di tingkat lokal dan nasional.

Posted by admin in Edukasi, Perkebunan