Hari: 16 November 2025

Edukasi Pertanian Tradisional dan Kearifan Lokal yang Harus Dilestarikan

Di tengah gempuran teknologi smart farming, warisan Edukasi Pertanian Tradisional dan kearifan lokal yang telah teruji oleh waktu memiliki nilai yang tidak ternilai harganya, terutama dalam konteks ketahanan ekologis dan sosial. Sistem pertanian yang diturunkan secara turun-temurun ini sering kali mengandung solusi yang berkelanjutan dan sangat adaptif terhadap lingkungan setempat. Edukasi Pertanian Tradisional menekankan pada keseimbangan alam, penggunaan sumber daya lokal, dan praktik hemat biaya. Melestarikan dan mengajarkan Edukasi Pertanian Tradisional ini adalah kunci untuk menjaga keanekaragaman hayati dan memperkuat identitas budaya petani Indonesia.

Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Air dan Tanah

Banyak praktik pertanian tradisional yang sangat canggih dalam hal konservasi air dan tanah. Salah satu contoh kearifan lokal yang paling terkenal adalah sistem Subak di Bali, yang merupakan sistem irigasi berbasis komunitas yang diatur oleh filosofi Tri Hita Karana (tiga penyebab keharmonisan).

  1. Subak: Sistem ini tidak hanya membagi air secara adil di antara sawah-sawah, tetapi juga berfungsi sebagai institusi sosial dan agama. Air dibagi berdasarkan kesepakatan komunal dan ritual, memastikan bahwa tidak ada satu pun petani yang menderita kekeringan. Pada tanggal 14 Juni 2025, UNESCO kembali mengadakan pertemuan rutin untuk meninjau upaya pelestarian sistem Subak, menegaskan pengakuan global terhadap nilai kearifan ini.
  2. Sistem Terasering: Dibangun secara manual oleh nenek moyang, terasering mencegah erosi tanah di lereng curam, sekaligus memaksimalkan penyerapan air hujan.

Pengetahuan Lokal Mengenai Benih dan Hama

Edukasi Pertanian Tradisional juga kaya akan pengetahuan tentang benih lokal (varietas local landraces) yang telah beradaptasi dengan iklim spesifik selama ratusan tahun. Benih lokal ini sering kali lebih tahan terhadap hama dan penyakit endemik daripada benih hibrida impor.

Petani tradisional juga menguasai teknik pengendalian hama alami. Misalnya, penggunaan pestisida nabati yang diekstrak dari tumbuhan lokal seperti daun mimba atau tembakau. Praktik ini sejalan dengan prinsip Pengendalian Hama Terpadu (PHT) modern, namun menggunakan sumber daya yang tersedia di sekitar mereka, tanpa perlu mengimpor bahan kimia mahal. Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) di Kabupaten Cianjur, pada bulan Agustus 2026, secara rutin mengadakan pelatihan yang fokus pada identifikasi dan pembuatan pestisida nabati berbasis resep turun-temurun.

Implikasi Sosial dan Ekonomi

Selain manfaat ekologis, Edukasi Pertanian Tradisional memperkuat ikatan sosial. Keputusan pertanian sering kali diambil secara kolektif melalui musyawarah desa, seperti penentuan jadwal tanam atau panen, yang menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab bersama. Secara ekonomi, ketergantungan pada input lokal (pupuk kompos, benih lokal) mengurangi biaya produksi dan meningkatkan kemandirian petani.

Kepala Desa Cibodas di Jawa Barat, dalam laporannya kepada Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) setempat pada hari Senin awal bulan, mencatat bahwa desa yang masih mempertahankan sistem gotong royong tradisional dalam mengolah sawah memiliki tingkat konflik agraria yang hampir nol, karena pembagian hasil dan kerja yang dilakukan secara transparan dan adil.

Secara keseluruhan, Edukasi Pertanian Tradisional bukan sekadar romantisme masa lalu, melainkan repositori solusi berkelanjutan yang krusial bagi masa depan. Dengan melestarikan dan mengintegrasikan kearifan lokal ini ke dalam kurikulum modern, kita tidak hanya menjaga warisan budaya tetapi juga memperkuat ketahanan pangan dan ekologis bangsa.

Posted by admin in Edukasi, Pertanian